Perkawinan dalam Gereja Katolik

“Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan memberikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia”. Keberadaan wanita sebagai pribadi yang melengkapi suaminya telah ditunjukkan dalam kisah penciptaan wanita, dimana wanita diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. (bdk. Kej 2:18-25). Keberadaan pria dan wanita dalam perkawinan adalah saling melengkapi, keduanya saling membutuhkan dan saling mengisi.

Mengapa Gereja menyebut perkawinan sebagai Sakramen?

Sakramen adalah tanda dan sarana kehadiran Allah. Perkawinan sebagai sakramen berarti bahwa perkawinan menjadi sarana dan tanda kehadiran Kristus yang menyelamatkan. Artinya, suami menjadi tanda kehadiran Kristus bagi istrinya, demikian sebaliknya, istri bagi suaminya.

Bagaimana Sakramen Perkawinan terwujud?

Sakramentalitas perkawinan bukan terletak pada pemberkatan pastor, karena yang menjadi pelayan Sakramen Perkawinan adalah kedua mempelai sendiri. Oleh karena itu, Sakramen perkawinan terwujud melalui janji yang dibuat laki-laki dan perempuan dihadapan Allah dan Gereja yang diterima dan diteguhkan Allah menjadi satu daging. Karena Allah membuat ikatan Sakramen Perkawinan hingga maut memisahkan.(KGK.1625-1631)

Seorang laki-laki dan seorang perempuan harus menikah dengan keinginannya sendiri, bebas, tanpa rasa takut atau paksaan, dan tidak memiliki halangan nikah gerejawi (masih dalam ikatan perkawinan atau janji selibat).

Apa Syarat sahnya perkawinan

1. Bebas dari halangan-halangan kanonik (KHK Kan. 1083-1094):

  • Laki-laki belum genap 16 tahun, dan perempuan belum genap 14 tahun.
  • Impotensi untuk melakukan persetubuhan yang mendahului perkawinan dan bersifat tetap, entah dari pihak perempuan maupun laku-laki, bersifat mutlak entah relatif.
  • Seorang yang terkait dengan perkawinan sebelumnya.
  • Perkawinan dua orang, salah satu telah dibaptis atau diterima didalamnya dan tidak meninggalkannya dengan tindakan formal, sedang yang lain tidak dibaptis.
  • Seorang yang tertahbis.
  • Menikah karena dipaksa atau diculik..dll

2. Adanya kesepakatan nikah

3. Dirayakan dalam “Forma Canonica”

Apa bedanya Sakramen Perkawinan dan pemberkatan perkawinan?

Sakramen Perkawinan adalah janji perkawinan yang saling diberikan kepada orang yang dibaptis dalam nama Bapa, Putra dan Roh Kudus. Sedangkan Pemberkatan Perkawinan adalah janji perkawinan yang saling diberikan oleh seorang dibaptis dan tidak dibaptis di hadapan dua saksi awam dan seorang imam.

Kedua perkawinan ini sah dan diakui dalam Gereja, meskipun demikian Gereja senantiasa mengharapkan dan mengarahkan agar perkawinan dilaksanakan oleh pasangan terbaptis. Dalam kedua bentuk ini, isi dan janji yang diucapkan adalah sama, yakni: setia sampai mati memisahkan, saling mencintai dan menghormati, hanya  modelnya yang berbeda karena yang Katolik akan memakai model Yesus yang mencintai, sedang yang non katolik (misal, Islam mungkin memakai Muhammad atau orang tuanya sebagai  model, atau yang Budhis memakai Budha atau orang tuanya sebagai model.

Pernikahan beda agama demikian oleh karenanya tidak menjadi sakramen karena pihak yang non Katolik tidak atau belum mencapai mengimani diri sendiri sebagai tanda dan sarana keselamatan Allah bagi  pasangannya, bahkan dia tidak/ belum percaya pada sakramen itu. Kalau pihak non-Katolik  kemudian hari menjadi Katolik dan percaya bahwa dirinya adalah sakramen, maka perkawinan mereka otomatis menjadi sakramen, tidak perlu ada pembaruan pernikahan beda agama yang  telah mereka lakukan di gereja.

Apa yang diperlukan untuk melakukan perkawinan Sakramental Katolik?

Sebuah perkawinan Sakramental memerlukan 3 unsur: (a) persetujuan bebas, (b) penegasan kesatuan eksklusif seumur hidup, (c) keterbukaan terhadap hadirnya anak-anak. Perkawinan tidak sah jika tidak meliputi ketiga unsur diatas. (KGK.1644-1654, 1664)

Syarat unitas (kesatuan) dan indisolubilitas (tak terceraikan) adalah dasar utama menentang poligami karena dipandang sebagai pelanggaran dasar terhadap kasih dan HAM. Pasangan yang tidak memiliki keturunan dipanggil Allah untuk “berbuah” dengan cara lain.

Mengapa perkawinan tak terpisahkan?

“Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua melainkan satu. Karena itu apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” (Mat 19:5-6). Inilah dasar perkawinan tak terceraikan dalam Gereja katolik.

Apakah semua orang dipanggil untuk menikah?

Tidak semua orang dipanggil untuk menikah, bahkan orang selibat dapat mencapai kepenuhan hidup. Yesus menunjukkan cara khusus: Ia mengajak mereka untuk tidak menikah “demi Kerajaan Surga” (Mat 19:12) (KGK.1618-1620)

Orang yang tidak harus mengurus pasangan atau keluarga menikmati kebebebasan dan kemerdekaan dan memiliki waktu untuk melakukan hal-hal berarti dan penting yang tidak pernah bisa dinikmati oleh mereka yang menikah. Tidak jarang, Allah menyebut orang seperti itu menjadi sangat dekat dengan-Nya. Ini terjadi ketika seseorang merasakan keinginan menolak perkawinan “demi Kerajaan Surga”.

Bagaimana perkawinan secara Katolik dilangsungkan?

Perkawinan harus berlangsung secara terbuka. Mempelai laki-laki dan perempuan ditanya tentang niatan mereka untuk menikah. Mereka saling berjanji untuk saling mencintai dan menghormati. (KGK.1621-1624, 1663)

Dapatkah seorang Katolik menikah dengan orang beragama lain?

Hal ini dapat menyebabkan kesulitan bagi iman mereka dan anak-anak kelak. Gereja menentapkan bahwa perbedaan agama menjadi halangan untuk menikah. Perkawinan beda agama dapat dinyatakan sah hanya jika diperoleh dispensasi oleh Uskup setempat atau Tahta Apostolik sebelum perkawinan. Perkawinan ini tidak bersifat sakramental. (KGK.1633-1637)

Apa yang harus dilakukan jika menikah dengan seorang Kristen yang bukan Katolik?

Pernikahan ini disebut pernikahan campur beda gereja. Oleh karena itu dibutuhkan Ordinaris Wilayah atau pastor paroki, atau diakon untuk mengajukan dispensasi perkawinan. Uskup dan kuria termasuk dalam Ordinaris, namun biasanya keputusan bisa diberikan kepada pastor paroki, imam atau diakon. Perkawinan ini membutuhkan kesetiaan khusus kepada Kristus dari kedua pasangan, dan bersedia mendidik anak-anak dalam ajaran gereja katolik sehingga masalah perpecahan Kristen tidak berlanjut dalam keluarga. (KGK.1633-1637).

Sumber: Youcat