SEJARAH SINGKAT GEREJA HATI KUDUS YESUS SURABAYA

 

Semua Bisa Terjadi Kalau Memang Kita Ingin Terjadi

Ketika penjajah pertama kali menjejakkan kakinya di Bumi Pertiwi, misi yang pertama kali mereka emban adalah misi dagang. Hal itu didukung dengan sumber alam di Bumi Pertiwi yang sangat luar biasa besarnya. Akan tetapi setelah menikmati hasil yang begitu luar biasa, mereka tetap merasa kurang. Akhirnya timbul keinginan untuk menguasai secara keseluruhan dengan pengeluaran yang sekecil-kecilnya. Maka muncullah penindasan-penindasan baik dengan cara halus maupun dengan cara yang sangat kasar, sehingga penjajahan sangat luar biasa menyakitkan bagi bangsa Indonesia pada waktu itu.

Para pendatang yang berasal dari negeri Belanda datang dengan memiliki iman/kepercayaan yang berbeda dengan iman/kepercayaan yang dimiliki oleh warga pribumi pada waktu itu. Pada waktu itu terjadi persinggungan yang semakin keras di bidang kebendaan/materi hingga menimbulkan perang. Dalam perkembangan iman/kepercayaan, hal seperti di atas tidak terjadi. Ternyata perkembangan iman Katolik yang terjadi di Hindia-Belanda pada awalnya sangat menarik, karena tidak terlepas dari situasi dunia pada saat itu.

Abad 19, tepatnya tahun 1795, benua Eropa bergejolak hingga menimbulkan revolusi yang mengubah sejarah dunia. Revolusi Perancis mengakibatkan terbukanya simpul-simpul yang mengekang bangsa-bangsa di Eropa. Hal itu menyebabkan longgarnya kaum Kristen protestan terhadap kaum Katolik di Eropa. Pelopor revolusi Perancis, Napoleon Bonaparte mengeluarkan pernyataan yang sangat monumental pada tahun 1806 yaitu “Persamaan perlindungan bagi semua agama yang ada di bumi”. Pernyataan (statement) ini benar-benar mengubah pola pikir masyarakat pada waktu itu dan akhirnya merubah kebijaksanaan pemerintah di benua-benua Eropa. Raja Williem I (Raja Belanda) juga tidak terlepas dari pengaruh statement tersebut, hal tersebut juga menjalar ke negara jajahan, Hindia-Belanda.

Anginpun Mulai Berhembus

Tanggal 31 Oktober 1807 menjadi tonggak sejarah bagi perkembangan iman Katolik khususnya di Hindia-Belanda. Pada tanggal inilah misionaris Katolik pertama dikirimkan dari negeri Belanda ke Hindia-Belanda. Mereka adalah Pastor Jacobus Nellissen dan Pastor Lambertus Prinsen. Beliau berdua bertolak dari negeri Belanda pada tanggal 31 Oktober 1807. Membutuhkan waktu kurang lebih 5 bulan untuk bisa sampai ke Hindia-Belanda, akhirnya beliau berdua sampai di Batavia pada tanggal 4 April 1808.

Kehadiran beliau pada awalnya hanya melayani warga Eropa yang tinggal di Hindia-Belanda dan menganut iman Katolik, itupun dilakukan dengan berpindah-pindah tempat. Walaupun dengan kondisi seperti itu beliau telah menanamkan dan mendirikan hirarki Gereja dengan benar. Hal itu terbukti dengan adanya stasi-stasi yang mereka berdua dirikan. Berkat perjuangan beliau berdua, perkembangan umat bertambah dengan cepat. Pada tanggal 23 Desember 1808, Pastor Lambertus Prinsen mengembangkan karya imamat beliau ke Semarang dan membuka stasi baru disana.

Pemerintahpun Memperkencang Hembusan Angin Itu

Peranan Gubernur Jendral pada waktu itu yaitu Daendels sangat besar pengaruhnya. Berkat kebijaksanaan beliau, kebutuhan akan sarana dan prasarana yang ada pada awalnya menjadi kendala ternyata bisa diminimalkan. Kebijaksanaan beliau sangat membantu perkembangan iman Katolik di Hindia-Belanda. Hal itu dilakukan dengan mendatangkan misionaris-misionaris negeri Belanda dan membantu menempatkan misionaris tersebut ke seluruh wilayah Hindia-Belanda.

Untuk Surabaya ada dua misionaris yang ditempatkan yakni Pastor Henricus Waanders dan Pastor Philipus Wedding. Beliau berdua memulai karyanya di Surabaya pada tanggal 12 Juli 1810. Tidak lama berselang, Pastor Philipus Wedding harus kembali ke Batavia untuk menerima tugas yang lain. Sepeninggal Pastor Phlipus Wedding, Pastor Henricus Waanders mendirikan stasi pertama di Surabaya. Sebuah rumah di daerah Gatotan digunakan sebagai rumah maupun sebagai Gereja darurat.

Setelah mewartakan karya penyelamatan Yesus Kristus selama kurang lebih 12 tahun, maka Pastor Henricus Waanders bersama seluruh umat Katolik di Surabaya berhasil mendirikan Gereja pertama di Surabaya (22 Maret 1822). Terletak di Jl. Roomsche Kerkstraat (yang kemudian berubah menjadi jalan Tjenderawasih) pada sudut Jl. Komedieplein di wilayah Kepanjen, Surabaya. Bentuk fisik dari bangunan ini sangat sederhana tetapi nampak anggun dan berwibawa karena dibangun dengan iman yang sangat mendalam. Di atas altar tergantung gambar Yesus yang wafat di kayu salib, sebuah gambar piala untuk misa yang bertuliskan agama dan ucapan syukur di dapat dari usaha umat katolik berwarganegara Eropa, Mr. J. C. Schmidt.

Kekuatan iman umat Katolik di Surabaya semakin bertambah teguh (taat). Hal ini timbul setelah berdirinya Gereja walaupun sederhana. Pada tahun 1848, Mgr. Petrus Maria Vranchen, Uskup pertama, mengadakan kunjungan ke seluruh daerah timur termasuk Surabaya. Ternyata beliau melakukan aktivitas yang sama pada tahun 1850. Hal ini merupakan sumber berkah dan kekuatan bagi seluruh umat Katolik di daerah jajahan Hindia-Belanda bagian Timur, terutama karena terbatasnya tenaga imam pada waktu itu.

Akhirnya setelah mengajukan permohonan, maka pada tahun 1859 datanglah Pater-Pater Jesuit di Surabaya, yakni Pater Martinus van Den Elsen dan Pater Y.B. Palinckx (G. Vriens, S.J. 1972;47). Perlu dicermati, meskipun Gereja secara fisik telah berdiri dan stasi telah dibuat, tetapi Gereja secara iman belum bisa dibanggakan karena :

  1. Rutinitas kehidupan Gereja belum tercipta dengan baik. Umat ke Gereja hanya pada hari besar atau jika sedang membutuhkan kekuatan spiritual.
  2. Mutu rohani yang tidak begitu tinggi tercermin dari banyaknya bayi yang dibaptis sebagai anak-anak yang tidak sah (G. Vriens, S.J. 1972;27).
  3. Sampai batas tertentu terbentur pada kebijaksanaan pemerintah pada waktu itu.

Walaupun dengan kondisi di atas, di akhir tahun 1900, wilayah tanggung jawab Gereja Surabaya sudah mencakup 3 Wilayah yakni : Surabaya, Madiun dan Semarang (P.Boonekamp, 1974;949).

Sejalan dengan semakin berkembangnya umat Katolik di Surabaya dan pertimbangan lainnya, maka pada tanggal 12 April 1899 dibangunlah sebuah Gereja baru yang terletak di samping pekarangan suster-suster Ursulin. Tepatnya di depan sekolah Bruderan dan tidak jauh dari tempat tinggal pastor. Dibangun di atas sebidang tanah yang disiapkan oleh Pastor C.W.J. Wenneker lebih dari 10 tahun sebelumnya. Akhirnya pada tanggal 19 Agustus 1899 untuk pembangunan Gereja yang di arsiteki Westmaes ini, dilakukanlah peletakan batu pertama oleh Pastor P.J. Van Santen.    

Pada tanggal 5 Agustus 1900, Gereja diberkati oleh Mgr. Edmundus Sybrandus Luypen. Gereja Gotik baru ini menelan biaya sebesar 165.000,- Gulden ini diberi nama Gereja Maria Geboorte (Gereja Kelahiran Maria). Gereja pertama ini berkembang dengan pesat sekali (dalam pengertian jumlah umat katolik). Di tengah pesatnya perkembangan umat Katolik di Surabaya, Gereja pertama di Surabaya ini terbakar (November, 1945). Peristiwa yang sangat memukul hati umat Katolik pada waktu itu. Lebih menyedihkan lagi, muncul dua pandangan yang berbeda mengenai penyebab kebakaran ke-dua Gereja tersebut. Kedua pandangan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut;

  1. Akibat terkena bom salah sasaran, akibat pertikaian antara tentara Belanda dengan tentara Republik.
  2. Dibakar dari dalam oleh oknum-okmum yang tidak bertanggung jawab.

Munculnya Sang Penggembala

Surabaya merupakan kota pelabuhan yang terbesar ke-dua setelah Batavia maka sangat wajar sekali kalau kotanya sangat pesat dan bisa terdeteksi perkembangannya dari pelabuhan Kalimas di pesisir menuju arah selatan, pedalaman kota Surabaya. Perkembangan imam Katolik pun mengikuti alur ini, akibatnya di daerah Surabaya Selatan pemeluk iman Katolik semakin banyak dan Gereja Kepanjen tidak bisa menampung banyaknya umat pada waktu itu. Maka timbullah pemikiran untuk membangun sebuah Gereja baru di Surabaya bagian selatan.

Ada kronologi yang patut dicermati :

Dari rapat/catatan tanggal 14 Mei 1911, telah timbul pemikiran-pemikiran dan tindakan-tindakan:

  1. Menaksir persil di Tunjungan dekat apotik Rathkamp, luas 800 meter persegi, dengan harga 24.000,- Gulden.
  2. Persil di Embong Wungu/Kaliasin, dengan pemikiran tidak jauh jarak antara Surabaya Selatan dengan Surabaya kota, dan terletak persis di tengah persimpangan jalan utama, dengan luas 2633 meter persegi, dan jika dirasa kurang luas bias ditambah seluas 1678 meter persegi dengan harga sekitar 43.000,- Gulden.

Para suster sangat tertarik dengan persil ini, selain itu setelah dikalkulasi sesuai dengan kemampuan Gereja dalam membayar dengan cara kredit dalam waktu satu tahun. Akan tetapi saying, tiba-tiba  ada berita dari Kotapraja bahwa akan ada rencana pembuatan saluran air, sebab hasil survey membuktikan bahwa air  tanah di daerah ini masih setinggi 0,82 di atas paal rooster, akibatnya akan berbahaya jika di atas tanah itu dibangun sebuah gedung besar, akan terjadi ketidakseimbangan”berat jenis”.

  • Sebuah persil di Tegalsari dengan luas 6618 meter persegi, dengan harga 5 Gulden per meter persegi.
  • Di Ketabang ada tanah yang bisa dipergunakan tetapi tidak boleh dibeli, hanya boleh disewa selama 75 tahun.

Data tanggal 27 April 1914 tercatat :

Ada rencanan pengadaan obligasi sebesar 50.000 Gulden, tetapi sangat disayangkan hingga tanggal 31 Juli 1915 tidak berhasil diwujudkan. Selain itu ada juga protes dari warga Tegalsari untuk menutup tanah tersebut. Akhirnya tanah Tegalsari tersebut diabaikan, dan dalam waktu satu tahun seorang makelar berhasil menjual kepada sositet Concordia dengan harga 132.360 Gulden, dan persil yang di Jalan Embong Wungu/Kaliasin juga terjual kepada perusahaan dengan harga 125.000 Gulden.

Polemik di mana letak gereja terbaru di Surabaya Selatan berlangsung hingga tahun 1919. Pada tahun 1919 ini ada 2  persil tanah yang diincar yakni :

  1. Di daerah Hoogendorplaan, dengan luas 7500 meter persegi dibatasi oleh Jalan Reestraat, Jalan Idenburgstraat, dan Jalan Brouwerstraat.
  2. Di Jalan Anita Boulevard (Jalan Dr. Soetomo) yang kini berubah lagi menjadi Jalan Polisi Istimewa), dengan luas 4200 meter persegi dan berdekatan dengan persil di Jalan Boschlaan, dengan luas 3000 meter persegi

Akhirnya setelah melakukan pembahasan dengan intensif maka ditetapkan persil di Jalan Anita Boulevard dan Jalan Boschlaan yang dipergunakan sebagai Gereja dan pastoran baru di wilayah Surabaya Selatan. Tahap awal perencanaan pembangunan, berdasarkan perhitungan yang matang oleh arsitek Mr. Beek, biaya yang dibutuhkan sebesar 160.000 Gulden.

Untuk memulai pembangunan gedung gereja yang baru ini dilakukan upacara peletakan batu pertama, dari data yang ada terdapat perbedaan :

  1. Data dari DKG No. 42 1934
    Peletakan batu pertama pada tanggal 26 Oktober 1920, oleh Romo Fleerakkers.
  2. Data dari Berita Katedral Edisi khusus No. 3 Juli 1987
    Peletakan batu pertama tanggal 11 Agustus 1920.

Sedangkan rancangan/design bangunan Gereja dibuat oleh arsitek ED CYPRESS BUREAU dengan rangka denah berbentuk empat persegi panjang dan konstruksi bentuk Basilika dibangun oleh biro arsitek HUSWIT-FERMONT.

Pembangunan Gereja yang kedua yang bisa menampung umat sebanyak 900 orang ini akhirnya diberkati oleh Mgr. Luypen pada tanggal 21 Juli 1921, dan diberi nama Gereja Hati Kudus Jesus dan sekaligus diberkati pula rumah pastoran. Pada masa ini umat Katolik yang terdaftar sebanyak 2000 orang.

Seluruh pembangunan itu menelan biaya sebesar 216.143,27 Gulden. Lebih rendah dari perkiraan awal sebesar 247.096,02 Gulden. Dari data DKG 44/1934, mengenai pembicaraan Gereja Hati Kudus yang telah dibangun itu ada kritik yang cukup pedas dari J.H. (belum terdifinisi apakah inisial tersebut perorangan atau kelompok). Isinya Gereja hanya dibangun untuk memenuhi kebutuhan essensinya saja sedangkan bentuk menaranya memberi kesan berbentuk ruang mesin atau gedung pabrik. Pada panti imam jelas diambil model kulit telur dan kiri kanannya diberi lengkungan yang bentuknya sama sekali beda, penggambarnya pasti seorang DILLETAUT, mungkin juga merancang altar utama, mimbar khotbah dan jalan salib sebab dari ciri-ciri pembuatan nampak sama.

Kritik di atas dijawab melalui DKG No. 44 tahun 1934 berbunyi :

Tugas berat penasehat estetik untuk berbuat sesuatu, tetapi yang jelas bangunan ini sudah berdiri dan kita tidak dapat berbuat apa-apa. Gejala kerusakan gereja Hati Kudus Yesus berupa ambles dan keretakan jelas terlihat di mana-mana. Dua kesalahan konstruksi yang sangat mendasar adalah: Pondasi yang sangat buruk dan pemasangan kap yang juga tidak baik, selain itu lebar pondasi yang seharusnya menurut rooi 1.50 m disempitkan menjadi 1.20 m ini kemudian dapat diatur, tetapi kita tidak tahu sejauh mana budget 30.000,- Gulden yang dibutuhkan agar supaya perbaikan itu dilaksanakan. Yang penting gereja bisa dipakai terus.

Sang pioneer kembali mengepakkan sayap …..

Anda pasti ingat dengan kronologi pada tahun 1859. Untuk mengatasi permasalahan yang ada didatangkan dua pater JESUIT yakni Pater Martinus vn Den Ellsen dan Pater Y.B. Palinckx. (G.Vriens, Sj. 1974:47). Maka setelah gereja Hati Kudus Yesus berdiri dan telah dianggap mumpuni maka pada hari Sabtu tanggal 30 Juni 1923 datanglah ke Indonesia Pater-Pater Karmelit bertugas di Malang, sedangkan Romo-Romo Lazaris ditugaskan ke Surabaya beliau-beliau adalah:

  1. Romo De. Th. E. de Backere, CM
  2. Romo C. Klamer, CM
  3. Romo E. Sorneel, CM
  4. Romo J. Wolters, CM
  5. Romo Th. Heuvelmans, CM

Setelah kehadiran romo-romo Lazaris ini maka pada hari Minggu tanggal 1 Juli 1923, Pater-Pater Jesuit yang telah merintis dan menanamkan benih-benih iman kristiani di Surabaya lebih dari 64 tahun (1859-1923) mohon diri dari seluruh umat yang ada dalam tanggung jawab gereja Hati Kudus Jesus. Mereka menyerahkan pemeliharaan dan pengembangan selanjutnya kepada Romo-Romo dari Lazaris.

Pada hari Minggu tersebut, terjadi pemandangan yang sangat menyentuh, bercampur aduknya perasaan haru, bahagia, sedih, gembira karena luapan atau perwujudan perasaan syukur dan terima kasih dari umat Katolik di seluruh Surabaya kepada Pater-Pater Jesuit atas kesetiaan dan pengorbanan mereka selama mewartakan kasih Kristus. Misa syukur yang diadakan di gereja Hati Kudus Yesus berlangsung syahdu dan khidmat.

Gereja yang didesain untuk umat berjumlah 900 orang ini ternyata tidak bisa menampung jemaat yang hadir bahkan yang meluber hingga ke Jalan Anita Boulevard sebab hadir pula saudara-saudara muslim serta para pejabat pemerintahan pada waktu itu (Residen, wakil residen, regen). Bapak Residen yang muslim juga menyampaikan sambutan dan ucapan syukur beliau karena karya kerasulan yang dilakukan oleh Pater-Pater Jesuit ternyata secara sosial bisa dinikmati dan berguna bagi seluruh lapisan masyarakat. Koran-koran di Surabaya pun menulis artikel yang sangat menghargai karya misi dari Pater-Pater Jesuit, (tulisan V.A. Ernsbergen; lihat halaman 306).

YANG KEKAL ADALAH PERUBAHAN

Berdasarkan koreksi yang termuat dalam DKG 44/1934, ternyata apa yang dikhawatirkan terjadi karena hal-hal teknis tidak proporsional, maka pada tahun 1925 gedung yang baru dibangun ini nampak akan ambruk, perlu diusahakan perbaikan secara menyeluruh tanpa harus mengubah keaslian bentuk bangunan. Maka dilakukan perbaikan menyeluruh terutama bagian pondasinya.

Setelah dianalisis, perbaikan dilaksanakan pada tahun 1926. Setelah sekian lama selalu berada di bawah pengawasan Keuskupan Jakarta, maka pada tanggal 15 Februari 1928, wilayah Surabaya dan sekitarnya telah berhasil mendirikan PREFEKTUR APOSTOLIK, dan sebagai PREFEK APOSTOLIK nya adalah Mgr. Th. de Backers, CM. Pada waktu itu ada 15 pastor-pastor Lazaris, yang menggembalakan adalah Pastor Y. Zoetmulder, CM. Akhirnya pada tahun 1937 Pater Michael Verhoeks diangkat menjadi Prefek Apostolik Surabaya. Dan yang sangat membanggakan adalah pada bulan Juli 1940 pertama kalinya putra pertiwi, berasal dari tanah Jawa ditahbiskan sebagai imam Katolik dan pentahbisan dilakukan di Nederland, beliau bernama Pastor Ignatius Dwijasoesastro, CM.

Berkat perjuangan yang tak kenal menyerah dan dilandasi oleh keinginan yang tulus untuk memuliakan nama ALLAH maka pada tanggal 16 Oktober 1941, Surabaya telah menjadi VIKARIS APOSTOLIK. Tetapi dari sumber data lain yang dapat kita peroleh, menyatakan terjadinya pada bulan Januari 1961 (buku petunjuk, 1970:95; buku petunjuk, 1990;239), sedangkan dari sumber lain menyebutkan baru dimulai pada tahun 1942, dua bulan setelah pengumuman perang melawan Jepang dengan Vikaris Apostoliknya dijabat oleh Pastor M. Verhoek (P. Boonekamp, 1974;978).

Kedua informasi di atas sama benarnya, hanya yang terakhir didasarkan pada tanggal surat resmi Kepausan. Sampai pada tahun 1951 akibat situasi pada saat itu, seluruh komplek gereja ditinggalkan oleh penghuninya, akibatnya gedung gereja Hati Kudus Yesus beserta dengan isinya menjadi tidak terawat sehingga banyak mengalami kerusakan-kerusakan. Banyak perabotan di dalam gereja yang hilang atau rusak. Setelah kondisi dianggap memungkinkan maka pada tahun 1951, Mgr. Verhoeks melakukan renovasi secara menyeluruh baik dari segi fisik maupun dari iman.

TAMU ITU DATANG JUGA

Pada hari ulang tahun yang ke 10 Paroki Hati Kudus Yesus tepatnya tanggal 8 Mei 1952, Mgr. Verhoeks meninggal dunia dan jabatan beliau dipegang oleh pejabat sementara yakni Pastor Van Megen, CM.

Setelah masa berkabung selesai maka dipilihlah Mgr. J. Klooster, CM sebagai Vikaris Apostolik. Pelantikan dilakukan pada tanggal 21 Februari 1953 (sumber berita katedral, edisi khusus 3 Juli 1987).

Sedangkan pada tanggal 1 Mei 1953 Mgr. J. Klooster, CM. Menerima tahbisan dari tangan Internuncius apostolic Mgr. G. de Jonghe d’ardoye. Karena berjuang dengan serius sekali maka pada tanggal 3 Januari 1961, Surabaya ditingkatkan menjadi Keuskupan Surabaya dengan Uskup Mgr. Yohanes Klooster, Cm. Meliputi :

Karesidenan Surabaya

  1. Kediri
  2. Madiun
  3. Bojonegoro
  4. Sepanjang
  5. Surabaya
  6. Blora
  7. Rembang

Setelah berjuang tanpa mengenal lelah dalam mengembangkan keuskupan, maka pada tanggal 7 Oktober 1967 umat Katolik di Surabaya khususnya dan Jawa Timur pada umumnya kedatangan tamu istimewa yaitu Dubes Vatikan Mgr. Salvatore Pappalardo, selama tiga hari.

Pada masa pemberontakan PKI tahun 1966 yang menimbulkan kekacauan nasional gereja Katolik Hati Kudus Yesus ternyata juga terkena imbasnya, tepatnya pada hari Minggu malam tanggal 15 Oktober 1967 dilempari granat oleh salah seorang oknum PKI, dari halaman muka Sekolah Dasar Katolik Majapahit. Bersyukurlah akibat ledakan granat tersebut tidak terlalu parah, gedung pastoran selamat dari ledakan tersebut. Akibat peristiwa ini maka dibangunlah pagar yang mengelilingi lingkungan gereja dan pastoran, dana pembangunan diperoleh dari swadaya masyarakat, walaupun dengan susah payah.

Gereja ternyata bukan hanya tempat beribadat bagi umatnya, tetapi juga tempat pengembangan kualitas manusia dan seluruh kegiatan umatnya. Untuk mewadahi seluruh aktivitas gereja, seluruh aktivitas sosial dan organisatoris yang selama ini dilakukan dengan meminjam gedung orang lain, maka pada hari Sabtu tanggal 20 Juni 1970 dengan mengucap syukur kepada Allah telah dilakukan peresmian dan pemberkatan Balai Pertemuan Paroki. Gedung dengan kapasitas 200 orang untuk lantai dasar dan 200 orang untuk lantai atas ini diberkati oleh Romo Kepala Paroki yaitu Mgr. A.J. Dibjokarjono, Pr.

Gereja Hati Kudus Yesus yang dibangun pada yahun 1921 ini ternyata memang benar-benar seperti gadis manis yang manja sehingga menyita perhatian umat, karena pada awal-awal tahun 1972, berkat rasa ingin tahu yang besar dari bapak Rig Soeprapto dan bapak Tjakrasudibja naik ke atap gereja dan ternyata seluruh kayu atap gereja telah dijadikan santapan jasmani ribuan rayap.

Akhirnya untuk mengatasi permasalahan tersebut maka romo paroki pada waktu itu mewajibkan umat untuk menyumbangkan sebagian uangnya untuk biaya renovasi atap gereja, syukurlah akhirnya pada bulan Agustus 1972 telah selesai pembangunan atap tersebut “di atas tanah”, dan setelah selesai, atap yang lama langsung diambil dan digantikan oleh atap yang baru yang telah disiapkan “di atas tanah”. Untuk perbaikan atap Katedral itu Paroki Hati Kudus Yesus mendapat bantuan dana dari Pemda Tingkat I Provinsi Jawa Timur. Ini membuktikan kepedulian  Pemerintah atas perbaikan rumah ibadat.

Pada tahun 1982 jumlah umat semakin banyak dan ternyata kesejahteraan umat Katolik juga semakin meningkat, sehingga banyak sekali umat katolik yang pergi ke gereja dengan menggunakan mobil atau sepeda motor, akibatnya halaman Gereja yang dari tanah menimbulkan debu yang sangat mengganggu, maka atas kesepakatan dari Romo Paroki dilakukan pengaspalan seluruh halaman gereja dan halaman pastoran Hati Kudus Yesus, selesai pada bulan Juli 1982, dan didanai oleh kas Gereja.

Agar umat merasa benar-benar berdoa secara khusus dalam devosi kepada Bunda Maria maka pada tanggal 15 Januari 1982 Romo Paroki, Romo Dr. C. Reksosubroto, CM. mengemukakan maksud untuk mendirikan Gua Bunda Maria. Ini adalah cita-cita beliau waktu ditahbiskan sebagai imam. Sebagai romo muda beliau ingin maju bila suatu ketika berkarya di sebuah paroki besar, akan membangun gua Maria. Romo Reksosubroto jugalah yang mengadakan novena berkesinambungan di Katedral tiap hari Kamis sore dengan pentahtaan Sakramen Mahakudus pada akhir Perayaan Ekaristi.

Sejak kejadian pelemparan granat oleh oknum PKI, pada tahun 1967, Pimpinan Gereja selalu menempatkan penjaga di sekitar gereja dan pastoran. Tetapi karena tidak ada tempat khusus bagi petugas keamanan ini mereka menempatkan diri senyaman mungkin, terkadang di bawah patung Yesus disalib, terkadang di depan toko buku Varia Santa, pokoknya seenak hati para petugas keamanan tersebut, akibatnya  kalau mereka istirahat karena kelelahan dan dilihat dari pintu gerbang sangat tidak sedap dipandang mata, maka pada akhir tahun 1996 menjelang hari Natal atas kepedulian Romo Anton Budianto Tanalepie, CM. dibangunlah tempat penjagaan yang terletak didekat pintu gerbang masuk.

Dengan selesainya bangunan tersebut maka bapak-bapak penjaga keamanan mempunyai tempat yang manusiawi guna melaksanakan tugasnya sehari-hari. Karena daya tampung umat dalam gereja terbatas, sisi timur diberi atap dengan lantai paving dan berikutnya sisi barat.