“Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi” (Matius 7:1)
Suatu hari, seorang bocah laki-laki berumur 10 tahun mendatangi sebuah kedai dan duduk di sebuah meja. Seorang pelayan menaruh segelas air di depannya. “Berapa harga es krim coklat?”, tanya bocah itu. “Sepuluh ribu rupiah”, jawab si pelayan. Bocah itu mengeluarkan uang dari kantong celananya dan menghitungnya. “Hmmmm …. kalau es krim yang biasa, berapa?” tanyanya lagi.
Saat itu, sudah banyak pelanggan yang menunggu untuk dilayani dan si pelayan menjadi tak sabar. “Tujuh ribu lima ratus”, jawab pelayan dengan ketus. Bocah itu menghitung uangnya sekali lagi dengan hati-hati. “Aku pesan yang biasa saja”, lanjutnya. Tak lama kemudian pelayan membawa pesanan bocah itu dan menaruh bonnya di atas meja, lalu ia pergi. Setelah membayar es krimnya, si bocah pergi ke kasir dan membayarnya, lalu ia pergi. Ketika si pelayan hendak membersihkan piring tempat es krim, terselip selembar uang dua ribu lima ratus dan sekeping uang logam lima ratus rupiah. Inilah alasan kenapa bocah tadi tidak jadi membeli es krim coklat. Rupanya ia ingin memberi uang tip kepada si pelayan.
Bukankah kita sering kali bersikap seperti si pelayan tersebut? Selalu cepat menghakimi orang lain. Selalu melihat suatu keadaan atau kejadian dari satu sisi saja. Sesuatu yang tampak tidak baik di satu sisi, belum tentu tidak baik juga di sisi yang lain. Seperti pada cerita di atas, tindakan si bocah yang membuat si pelayan jengkel ternyata berujung pada maksud dan niat yang baik. Sayangnya, si pelayan terlambat menyadarinya.
Sebelum kita mengalami hal yang sama, seperti pelayan tadi, mari belajar untuk memahami suatu kejadian, atau seseorang dari berbagai sisi, sehingga kita bisa mengambil tindakan atau mengeluarkan perkataan yang tidak akan kita sesali kemudian.
Sumber: Renungan Harian Perempuan